Promosi Kesehatan Di Era Digital

Promosi Kesehatan Di Era Digital

Penulis: Atik Qurrota A’Yunin A.
Founder dan Manager of Product and Development Jago Preventif

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat telah meningkatkan akses terhadap berbagai informasi terkait kesehatan. Revolusi era Web 1.0 hingga 4.0 menyediakan lingkungan yang lebih partisipatif, dimana pengguna dapat mengembangkan dan menyebarkan konten secara online. Saat ini, era digital juga telah menyediakan pondasi teknologi bagi kemunculan berbagai platform, misalnya aplikasi pada perangkat digital mobile, website, digital health (pemanfaatan teknologi digital dalam pelayanan kesehatan, promosi kesehatan, serta berbagai tujuan lain terkait kesehatan yang menggunakan terminologi e-health, m-health, connected health, hingga public health 4.0).

Hal tersebut turut membawa perubahan besar di bidang promosi kesehatan. Saat ini, promosi kesehatan digital sepatutnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat secara lebih optimal. Platform digital menjadi sarana baru untuk melakukan promosi dan komunikasi kesehatan. Tidak hanya sekedar sarana untuk mencari informasi kesehatan, namun juga sarana berinteraksi, misalnya dengan orang lain yang memiliki masalah kesehatan serupa. Selain mendapat informasi tambahan, pengguna juga memperoleh dukungan sosial untuk meningkatkan kualitas kesehatannya.

Lebih dari setengah orang dewasa di dunia menggunakan internet untuk mencari informasi kesehatan. Media sosial juga telah menjadi saluran informasi penting bagi lebih dari 70% remaja dan orang dewasa muda. Penelitian tentang intervensi berbasis internet untuk menurunkan berat badan, penghentian kebiasaan merokok, dan menggalakkan aktivitas fisik berhasil memberikan bukti mengenai dampak nyata promosi kesehatan berbasis digital. Sejumlah meta-analisis menunjukkan bahwa intervensi tersebut berdampak positif terhadap peningkatan pengetahuan, dukungan sosial, perilaku, dan status kesehatan.

Meskipun demikian, promosi kesehatan di era digital menghadapi berbagai tantangan, seperti isu regulasi, sosial, dan etika. Dunia digital yang tanpa batas membuat promotor kesehatan bekerja lebih keras, tidak hanya untuk mengembangkan model terbaik untuk merubah perilaku, namun juga strategi untuk meyakinkan semua kalangan agar promosi kesehatan digital dapat diterima menjadi bagian dari kebiasaan baik untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang didukung pula oleh pemerintah.

Kajian Layanan Kesehatan Primer di Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan

Kajian Layanan Kesehatan Primer di Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan

Penulis: Atik Qurrota A’Yunin Al-Isyrofi
Founder dan Manager of Product and Development Jago Preventif

Pelayanan kesehatan primer atau tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik (primer) yang meliputi pelayanan rawat jalan dan rawat inap (Permenkes No. 71 Tahun 2013). Pelayanan tersebut dilakukan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), yaitu fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan bersifat non spesialistik untuk keperluan observasi, promotif, preventif, diagnosis, perawatan, pengobatan , dan/atau pelayanan kesehatan lainnya (Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2017). FKTP terdiri dari Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) atau fasilitas kesehatan setara Puskesmas, rumah sakit kelas D pratama, klinik pratama, praktik dokter atau fasilitas kesehatan setara praktik dokter dan praktik dokter gigi. Sebagai fasilitas yang melakukan kontak pertama pelayanan kesehatan pada masyarakat, FKTP harus mampu menyediakan fasilitas yang dapat mengatasi berbagai permasalahan kesehatan dasar secara paripurna serta memberi tata laksana rujukan pada kasus yang membutuhkan pelayanan lebih lanjut dengan tepat sesuai standar pelayanan medik.

FKTP yang berbentuk Puskesmas bertanggung jawab atas kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. Puskesmas memiliki 2 (dua) fungsi, yaitu fungsi Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan fungsi Upaya Kesehatan Perorangan (UKP). Puskesmas sebagai UKM adalah bagian dari regulator yang mengelola kesehatan kewilayahan serta menjadi ujung tombak pelayanan promotif dan preventif. Aktivitas tersebut banyak menggunakan anggaran dari Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah. Puskesmas sebagai UKP bermitra dengan BPJS untuk memberikan pelayanan primer bagi peserta BPJS yang didanai oleh dana kapitasi, non-kapitasi, dan dana lain dari BPJS. Selain itu, Puskesmas dalam hal ini juga melayani masyarakat yang bukan peserta BPJS, didanai oleh Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah, terutama penyelenggaraan program HIV/AIDS dan TB.

Kedua fungsi tersebut seringkali membuat Puskesmas mendapatkan berbagai sumber dana berbeda untuk satu program yang sama, seperti pendanaan untuk program pengelolaan penyakit tidak menular yang sumber dananya bisa berasal dari Biaya Operasional Kesehatan (BOK) maupun Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis). Tetapi, Puskesmas dapat pula mengalami kekurangan biaya untuk program yang tidak menjadi prioritas pemerintah maupun BPJS, seperti halnya program pengelolaan penyakit kronis selain yang disebutkan dalam Permenkes No. 19 Tahun 2014. Selain itu, hal yang seringkali disorot adalah porsi biaya operasional dari dana kapitasi yang bersisa, namun tidak dapat digunakan untuk kegiatan promotif dan preventif di masyarakat, sebab masih belum tercapai kesepahaman tentang penggunaan dana di lapangan. Hal tersebut menyebabkan tidak optimalnya pemanfaatan dana, sehingga kinerja pelayanan belum tampak mengalami peningkatan. Oleh karena itu, Permenkes No. 99 Tahun 2015 pun diluncurkan untuk mengatasi ketidaksepahaman tersebut. Namun, diperlukan monitoring dan evaluasi yang tepat untuk memastikan agar peraturan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik, sehingga tercapai kesepahaman antara pemerintah pusat dan daerah.

Sedangkan FKTP swasta sebagai penyedia layanan kesehatan primer di era JKN bertanggung jawab atas keseluruhan peserta yang terdaftar di dalamnya. Hal yang seringkali terjadi dalam penyelenggaraan layanan kesehatan primer di FKTP swasta adalah lemahnya koordinasi dengan Puskesmas karena sistem pendataan saat ini hanya mewajibkan FKTP swasta melaporkan kepada BPJS, tanpa melaporkan kepada Puskesmas atau Dinas Kesehatan setempat. Di lain pihak, situasi ini dapat melemahkan fungsi Puskesmas sebagai penanggung jawab wilayah serta Dinas Kesehatan sebagai regulator, sehingga Permenkes No. 75 Tahun 2014 pada Pasal 7 yang menyebutkan kewenangan Puskesmas untuk mengoordinasikan dan melaksanakan pembinaaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya menjadi kurang optimal.

Selain hal tersebut diatas, penyelenggaraan layanan kesehatan primer di era JKN dan BPJS juga menghadapi sejumlah tantangan strategis, diantaranya:

  1. Kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM)
    Kualitas dan kuantitas SDM yang mumpuni sangat dibutuhkan untuk melaksanakan pelayanan kesehatan primer yang diharapkan mampu menjadi ujung tombak penyelenggaraan pelayanan kesehatan primer, menyelesaikan 80% permasalahan kesehatan di wilayah kerjanya, melaksanakan upaya promotif dan preventif sekaligus mencegah defisit anggaran. Keterbatasan dalam aspek ini membutuhkan berbagai upaya akselerasi serta kebijakan yang tepat dalam hal pengelolaan SDM.
  2. Akses, jangkauan, dan disparitas
    Begitu luasnya wilayah Indonesia dengan disparitas yang sangat beragam karena kondisi geografis dan iklim menjadi tantangan tersendiri dalam penyelenggaraan layanan kesehatan primer. Setiap wilayah di Indonesia memiliki kekhasan masing-masing, sehingga diperlukan pola pendekatan khusus yang sesuai dengan situasi dan kondisi wilayah masing-masing.
  3. Sarana prasarana dan alat kesehatan
    Keterbatasan pemenuhan sarana prasarana dan alat kesehatan yang mendukung penyelenggaraan layanan seringkali terjadi akibat kurangnya pemahaman dan perencanaan daerah dalam menterjemahkan pola pelayanan kesehatan, sehingga dibutuhkan upgrade pemahaman serta pembenahan pada aspek perencanaan.
  4. Fokus pelayanan primer pada upaya kuratif
    Saat ini, pemahaman pelaksana maupun stakeholder dalam penyelenggaraan layanan primer masih terbatas pada pelayanan kuratif, sehingga hal tersebut mengakibatkan terbatasnya pembiayaan serta kegiatan yang berbasis UKM. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk mencapai kesepahaman antara pelaksana maupun stakeholder agar penyelenggaraan layanan primer juga mengedepankan pengarus-utamaan UKM yang meliputi upaya promotif dan preventif.

Berbagai tantangan di atas perlu diatasi dengan menyusun strategi penguatan pelayanan kesehatan primer sebagai berikut:

  1. Peningkatan Akses
    Upaya yang harus dilakukan yaitu penguatan FKTP, meliputi pemenuhan SDM di FKTP sebagai pelaku awal pada layanan kesehatan tingkat pertama yang harus mampu melakukan penapisan rujukan tingkat pertama ke tingkat kedua, serta melakukan kendali mutu dan kendali biaya sesuai dengan standar kompetensinya masing-masing. Selain itu, pemenuhan SDM yang harus diutamakan juga adalah tenaga kesehatan masyarakat yang kompeten dalam menyelenggarakan UKM berbasis promotif dan preventif. Aspek selanjutnya yang harus dipenuhi yaitu sarana dan prasarana, pelayanan gugus pulau karena Indonesia merupakan negara kepulauan, tim pelayanan kesehatan bergerak, serta regulasi yang relevan.
  2. Peningkatan Mutu
    Upaya untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan primer dapat dilakukan melalui penguatan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Oleh karena itu, sangat diperlukan kerjasama yang baik dengan Dinas Kesehatan serta advokasi yang strategis kepada Pemerintah Daerah agar kebijakan dan perilaku sadar mutu dapat diterapkan. Selain itu, FKTP juga harus terus mengembangkan inovasi pelayanan yang lebih bermanfaar bagi masyarakat.
  3. Penguatan Sistem Rujukan
    Upaya yang perlu dilakukan adalah peningkatan kapasitas sistem rujukan yang meliputi peningkatan kapasitas sumber daya di FKTP dan penyusunan standar pelayanan kesehatan berupa pedoman nasional pelayanan kesehatan disertai dengan panduan praktis atau petunjuk teknisnya. Selain itu juga dibutuhkan regionalisasi sitem rujukan.

Pada akhirnya, layanan kesehatan primer di era JKN dan BPJS saat ini akan berjalan optimal jika semua elemen berpartisipasi melakukan gerakan bersama masyarakat hingga pemerintah melalui tata kelola yang transparan dan penerapan good governance yang kemudian terus dipantau dan dievaluasi, sehingga perbaikan kualitas layanan dapat terus dilakukan secara berkelanjutan.

REFERENSI

  • Permenkes No. 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.
  • Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2017 tentang Pemerataan Peserta di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.
  • Permenkes No. 19 Tahun 2014 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah.
  • Permenkes No. 99 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.
  • Permenkes No. 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat.
Memperjuangkan Hak atas Kesehatan Anak

Memperjuangkan Hak atas Kesehatan Anak

Penulis: A.Ikram Rifqi
Founder dan CEO Jago Preventif

Setiap anak berhak untuk hidup sehat. Kesehatan merupakan modal utama untuk mencetak generasi anak Indonesia yang cemerlang di masa depan. Jika kesehatan anak tak menjadi prioritas, maka jangan berharap, di masa yang akan datang negeri ini akan tampak terang benderang.

Dari tahun ke tahun kualitas kesehatan anak masih memprihatinkan. Hal ini ditandai berdasarkan Pemantauan Status Gizi 2015-2016, di mana hanya 2 dari 34 provinsi yang secara indikator dianggap baik. Alih-alih riang dan gembira, kasus gizi buruk seperti stunting masih mencemaskan dan mengahantui di hampir seluruh kehidupan anak Indonesia.

Selain itu, menyebarnya kabar tak benar (hoax) tentang penggunaan imunisasi, membuat para orang tua enggan membawa anaknya ke posyandu untuk diberi perlindungan. Imunisasi dianggap haram dan tak boleh dilakukan. Maka, angka kejadian difteri dan campak pun akibatnya meningkat. Penyakit yang harusnya bisa dicegah kemudian muncul dengan efek buruk yang merepotkan. Padahal vaksinasi itu hak bagi setiap anak.

Kita bisa sedikit lega, meski harus tetap siaga. Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) yang digelar Kementrian Kesehatan pada Maret 2018, tanggap dengan isu terkini kesehatan nasional. Rapat mengangkat tema “Sinergisme Pusat dan Daerah dalam Mewujudkan Universal Health Coverage melalui Percepatan Eliminasi Tuberculosis, Penurunan Stunting, dan Peningkatan Cakupan serta Mutu Imunisasi.”. Pemerintah tampak serius untuk membuat anak Indonesia bisa jauh dari penyakit yang bikin sengsara.

Upaya menyelesaikan permasalahan kesehatan yang merugikan anak-anak, tak bisa dilakukan dengan hanya mengharapkan kerja keras satu profesi kesehatan semata. Katakanlah, kita tak bisa mengharapkan dokter atau perawat saja, untuk melulu memberikan pengobatan dan perawatan terhadap anak-anak yang sedang sakit. Kita butuh berkolaborasi. Kita perlu tenaga kesehatan yang lain untuk bersama-sama menuntaskan penyakit yang mendera anak-anak. Kita butuh tenaga kesehatan yang ahli di bidang perencanaan program kesehatan agar bisa tepat sasaran. Kita butuh ahli surveilans, promotor kesehatan, dan tenaga kesehatan yang lain agar segala persoalan yang merugikan kesehatan bisa segera dibumihanguskan.

Kolaborasi antar tenaga kesehatan (interprofessional health collaboration) perlu dimaksimalkan. Kolaborasi itu menitik beratkan pada proses yang berlangsung terus-menerus. Sehingga sebuah penyakit atau persoalan kesehatan tidak lagi dilihat sebagai sebuah akibat semata. Di titik ini, kita sadar bahwa penyakit juga berawal dari keberlangsungan proses yang bermasalah.

Kesehatan (anak) itu perlu dipandang secara sistemik, seperti sebuah sistem besar yang di dalamnya terdapat sistem-sistem kecil yang saling mempengaruhi. Jika ada suatu permasalahan dalam sebuah sistem, maka sistem yang lain mesti ikut untuk bahu-membahu untuk mengembalikan keseimbangan sistem. Fritjof Capra, dalam bukunya Titik Balik Peradaban (2007), memberikan pandangannya terkait kesehatan yang bersifat multidimesional. Kesehatan, bagi Capra, melibatkan aspek-aspek fisik, psikologis, dan sosial yang saling tergantung dalam sebuah sistem.

Stunting, misalnya, yang merujuk pada tubuh pendek karena kekurangan gizi, memiliki sebab yang kompleks. Ia meliputi banyak dimensi kehidupan. Kesenjangan ekonomi, pengetahuan yang rendah, tidak tersedianya pangan bermutu, akses informasi dan transportasi yang buruk, serta kondisi lingkungan yang tak sehat akibat tercemar, menjadi faktor penyebab yang saling memperkuat sehingga sehinga terjadinya penyakit. Dengan demikian, kita memahami bahwa persoalan kesehatan yang selama ini mengancam anak-anak, bukan semata tanggung jawab satu prosesi saja. Kesehatan itu tanggung jawab kita bersama.

Masa Depan Anak

Masa depan bangsa berada di tangan anak-anak. Sayangnya, hari ini mereka harus berjibaku berhadapan dengan pelbagai ancaman kesehatan. Anak-anak Indonesia berhak bergembira. Mereka tak semestinya berada di rumah, terbaring sakit dengan kondisi memprihatinkan. Anak-anak itu ditakdirkan untuk bermain dan bersenang-senang. Kita semua dituntut untuk peduli terhadap keceriaan mereka yang tercuri oleh stunting, campak, dan difteri. Mereka berhak mendapatkan kehidupan yang layak dan sehat. Tentu saja, sebagai orang dewasa, kita memikul tanggung jawab sebagai tameng untuk memberikan perlindungan kepada mereka. Anakku, anakmu, maupun anak tetangga, ialah juga anak-anak bangsa Indonesia.

Kolaborasi antar tenaga kesehatan dan kerja sama lintas sektor merupakan strategi yang harus digalakan untuk memerangi ancaman terhadap anak-anak. Peran negara di sini menjadi penting. Negara harus bisa memastikan bahwa hal-hal buruk tak lagi mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang. Maka, di hari Anak Nasional ini, kita perlu merefleksikan segala hal demi memperjuangkan masa depan (anak) Indonesia yang lebih baik.

Defisit BPJS Kesehatan dan Gagalnya Paradigma Sehat

Defisit BPJS Kesehatan dan Gagalnya Paradigma Sehat

Penulis: A.Ikram Rifqi
Founder dan CEO Jago Preventif

Polemik pemberitaan defisit BPJS kesehatan yang mencapai 16,5 T dan hitungan BPKP yang diangka lebih rendah yaitu 10,98 T mengisyaratkan bahwa gagalnya program paradigma sehat yang di banggakan oleh Kementrian Kesehatan RI. Basicly, jika program paradigma sehat berjalan dengan baik tentunya akan menekan angka kesakitan masyarakat sehingga klaim pembayaran RS ke BPJS juga semakin menurun.

Program paradigma sehat adalah turunan dari program Indonesia Sehat yang ditetapkan melalui keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor.HK.02.02/Menkes/52/2015 untuk mendorong pencapaian nawacita ke 5 Presiden RI Indonesia yaitu Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia. Adapun strategi penerapan paradigma sehat yaitu pengutamaan kesehatan dalam pembangunan, penguatan upaya promotif dan preventif, serta pemberdayaan masyarakat. Jika tiga strategi ini berjalan dengan baik tentunya kesehatan di Indonesia akan semakin membaik, namun mari kita lihat faktanya.

Tahun 2017 terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri yang ditetapkan oleh kementrian kesehatan dengan ditemukannya 954 kasus di 170 kab/kota dan di 30 provinsi dengan jumlah kematian sebanyak 44 orang. Di tahun selanjutnya Kementrian Kesehatan RI kembali menetapkan KLB di daerah Papua dengan kasus yang berbeda pada tanggal 8 januari 2018 dan telah menelan korban sebanyak 72 orang akibat campak sebanyak 66 orang dan gizi buruk sebanyak 6 orang. Semuanya terjadi karena kurangnya upaya pencegahan yang dilakukan oleh kementrian kesehatan.

Kejadian miris kembali terjadi akibat kelalaian pemerintah seusai bencana gempa bumi yang terjadi di Nusa Tenggara Barat. Kelalaian tersebut mengharuskan ditetapkannya status KLB Malaria di dua kabupaten yaitu Lombok Barat dan Lombok Timur dengan meningkatnya 3 kali lipat kasus malaria di daerah tersebut. Walaupun tidak menyebabkan kematian, namun kejadian ini menjadi pembelajaran bagi kementerian kesehatan agar konsep dan pengaplikasian program paradigma sehat tidak hanya menjadi selogan atau alat pencitraan semata, namun harus teraplikasikan sampai di desa agar tenaga kesehatan di daerah ikut terlibat untuk mengutamakan promotif dan preventif.

Kelalaian pemerintah tidak hanya terjadi pada penyakit menular, namun juga terjadi pada penyakit tidak menular terutama pada delapan penyakit kronis yang menyerap anggaran BPJS Kesehatan cukup besar seperti Jantung = Rp.9,42 triliun atau 51.13%., Gagal Ginjal =, Rp.2,25 triliun atau 12.24%, Kanker = Rp.3,1 triliun atau 16.84%, Stroke = Rp.2,25 triliun atau 12.21%, Thalasaemia = Rp.496 miliar atau 2.69%, Cirhosis Hepatitis = Rp.316 miliar atau 1.72%, Leukimia= Rp.317 miliar atau 1.72%, Haemophilia = Rp.268 miliar atau 1.46%. Delapan penyakit ini seharusnya menjadi perhatian kementerian kesehatan untuk melakukan pencegahan agar mengurangi beban BPJS Kesehatan which is hanya fokus pada Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) berdasarkan UU SJSN, sedangkan kementerian kesehatan memiliki kewenangan untuk memperkuat Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) yang lebih fokus pada upaya promotif dan preventif.

Berdasarkan laporan empat tahun pemerintahan Presiden Jokowi ada 22.467 jumlah Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang telah menjadi provider JKN. Jika jumlah FKTP ini dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya untuk memaksimalkan UKM di wilayah kerjanya akan mampu menekan meningkatnya angka kesakitan dan perawatan rawat inap masyarakat di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) di Indonesia. Namun yang terjadi pemanfaatan rawat inap RS justru mengalami peningkatan yang siknifikan di setiap tahunnya yaitu tahun 2014 (4,2 Juta), 2015 (6,3 Juta), 2016 (7,6 Juta) dan 2017 (8,72 Juta), data ini menunjukkan bahwa semakin banyak orang sakit dan konsep paradigma sehat bisa dikatakan gagal sedangkan yang sukses adalah paradigma sakit.

Suasana kegagalan pada sektor kesehatan di perkeruh oleh sindiran bapak presiden RI pada sambutannya di Kongres Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) pada tanggal 17 oktober 2018 kepada Ibu Menteri Kesehatan dan Dirut BPJS Kesehatan yang mengatakan “Mestinya sudah rampung lah di (tingkat) Menkes, di Dirut BPJS. Urusan pembayaran utang RS sampai Presiden. Ini kebangetan sebetulnya,”. “Kalau tahun depan masih diulang kebangetan,”tambahnya. Ungkapan itu sudah wajar ketika melihat kinerja di sektor kesehatan memiliki banyak masalah. Namun bapak Presiden lupa menyindir Menko PMK yang justru memiliki andil cukup besar untuk mengontrol program pelaksanaan perbaikan kesehatan, sebab permasalahan kesehatan merupakan tanggung jawab lintas sektoral di bawah Ibu Puan Maharani.

Presiden pun telah mengaku heran dengan kondisi defisit yang dialami BPJS Kesehatan, padahal telah memutuskan menambah sebesar 4,9 Trilliun lewat APBN namun belum cukup. ”Ini masih kurang lagi. ‘Pak masih kurang, kebutuhan bukan Rp. 4,9 T’, lah kok minta, kalau kurang minta,”_ kata Jokowi. Pernyataan seperti itu tidak mestinya disampaikan oleh kepala negara di depan khalayak ramai apalagi Direktur BPJS Kesehatan scara struktural dibawahi langsung oleh Presiden.

Simalakama yang terjadi di sektor kesehatan di era saat ini cukuplah menjadi pembelajaran besar buat kita semua. Permasalahan kesehatan tidak dapat diselesaikan pada satu sektor saja, namun harus di dukung oleh sektor lainnya. Selain itu turut andil masyarakat untuk terlibat dalam menjaga kesehatannya sangat diperlukan untuk itu masyarakat harus Jago Preventif agar dapat saling mengingatkan minimal dilingkungan keluarganya masing-masing untuk lebih mengutamakan pencegahan daripada pengobatan.